Pembacaan Atas Desa

Oleh Andi Gatot, Pegiat SPPQT 2003-2016

Rasional

Membicarakan Desa tetap menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan setiap saat, dalam lintas waktu dan kesempatan. Desa sangat dekat dengan kehidupan yang berdasar pada pertanian dan kekeluargaan, tertumpunya suasana pedesaan pada ritme pertanian dan petani sebagai pelaku utama penggerak kehidupan di desa. Berkaitan dengan hal itulah kita sadar petani hidup dan mati ditengah desa dimana mereka berasal dan kembali. Persoalan pedesaan tidak luput dari patronisasi Negara melalui birokrasi dan system yang berjalan selama kebijakan tentang Desa masih ada intervensi Negara terhadap Desa.

Dapat dikatakan sudah terjadi atau gejala sebagaimana terjadi di Desa, semisal :

  1. Budaya berfikir dan bertindak yang terpatri pada juklak dan juknis dari atasan, sehingga membelenggu dalam kinerja bagi pada aparatus desa;
  2. Belum berfikir dan bertindak kedepan tentang menjaga atas segala kekayaan atau sumber daya desa menjadi kesadaran pikir bersama, sehingga piranti pengayoman dan penjagaan yang kuat bagi aparatus desa beserta kelompok tani bahkan paguyuban petani;
  3. Adanya ketimpangan antara kesempatan belajar dalam memajukan desa, berdasarkan kreatifitas, inovatif yang penuh pembelajaran, bagi warga Desa dengan Pemerintahan Desa dan pemerintah supra desa melalui SKPD yang ada;
  4. Tertumpunya pada beberapa orang yang berkehendak memajukan desa sehingga pembagian peran tugas diantaranya penggerak desa tidak terjadi dengan baik, hal ini memperlambat kemajuan desa umumnya;
  5. Adanya jenjang komunikasi antara pemerintahan desa dengan kelompok tani atau paguyuban petani desa, serta warga Desa sehingga tersumbatnya komunikasi ini mengakibatkan proses kemandirian dan kedaulatan desa, misalnya dalam proses pembuatan legislasi/kebijakan desa terhambat.

Satu sisi lain bahwa, terciptanya kemandirian menuju kedaulatan desa semakin jauh dari panggang jika kepercayaan tidak pernah diberikan kepada Desa untuk menentukan sikap pilihannya dalam kerangka mewujudkan kedaulatannya yang hakiki. Persoalan pemberdayaan terhadap masyarakat belum terumuskan secara jelas, hal ini menimbulkan dampak kurang baik kepada subyek dari pembangunan yaitu warga desa.

Berangkat dari itulah Desa segera mengambil peran aktif mengawali proses peneguhan kedaulatan desa yang sesungguhnya, sehingga nilai dasar pemberdayaan, kemandirian serta impian-impian lainnya semakin tajam tercurah pada aras kesungguhan, dengan sendirinya tujuan-tujuan akhir akan terwujud seperti halnya : kemakmuran, kesejahteraan, keadilan semakin dekat kepada seluruh warga Desa jika kedaulatan Desa terwujud dengan dilandasi semangat gotong royong dari seluruh warga Desa tentunya.

Arahan Berdaulat : Apakah Sebuah Keniscayaan ??

Kita runtut produk legislasi dari Negara sampai Desa telah memberikan ruang kepada Desa untuk memainkan kiprah dan langgamnya dalam perwujudan kedaulatan Desa asli. Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, beserta aturan turunannya mengamanatkan kepada Desa untuk segera berbenah menata diri dan mengatur diri guna perbaikan dalam berdesa dan berkehidupan yang bermartabat.

Regulasi pengaturan atas Desa telah banyak yang dikeluarkan oleh Negara, tinggal bagaimana menerjemahkan pada tataran operasionalisasi di Desa. Undang-Undang Desa beserta aturan turunannya merupakan jaminan bagi Desa dalam menyelenggarakan kehidupannya sendiri. Arahan Desa berdaulat sebagaimana pengaturannya di Pasal-Pasal Undang-Undang Desa, mengarahkan pada proses “empowering” (pemberdayaan) bagi seluruh unsur Desa dalam mengelola, mengurus dan mengatur segala sumber daya desa guna satu tujuan yaitu perbaikan atas Desa. Jaminan dalam mewujudkan kedaulatan desa terletak pada asas Rekognisi dan Subsidiaritas, artinya : aturan yang termaktub dalam Undang-Undang Desa beserta aturan turunannya mengakui norma-norma tertentu yang ada di Desa serta kaidahnya bersandarkan pada kearifan lokal dan adat istiadat yang ada di Desa, dan Kewenangan Desa yang ada menjadi bagian penting usaha Desa dalam menemukan dirinya untuk berkembang dan berkreasi, agar kebutuhan warga Desa terpenuhi akhirnya, prinsip “mutatis mutandis” menjawab persoalan mendasar pada Desa.

Sebuah keniscayaan bahwa kehadiran Undang-Undang Desa mengarahkan pada pembangunan dan pemberdayaan berbasis kebutuhan, bukan keinginan warga Desa. Kita tahu bersama bahwa Undang-Undang tentang Desa difokuskan pada satu titik pemahaman berfungsinya hukum guna mengatur dan mengurus segala sesuatu di Desa, dan sebagai sebuah doktrin yang diciptakan dan berfungsi untuk mengabsahkan sistem sosial masyarakat Desa, dan perlu di ingat bahwa masyarakat Desa majemuk dengan memiliki persamaan yang dibangun diatas keberagaman.

Disini jelas bahwa pengaturan Desa yang diatur oleh Undang-Undang Desa mengarahkan pada perbaikan dari proses sampai hasil akhir dari sebuah Desa dalam memainkan peran dan tugasnya yang bersandar pada optimalisasi sumber daya yang ada di Desa, terutama sumber daya manusia,alam tentunya manajemen (tata kelola) yang baik dan benar. Arahan Undang-Undang Desa ini menjadi penting dan pokok disaat hal mendasar pada proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atas pembangunan Desa terjadi sesuai harapan bersama warga Desa, artinya tingkat partisipasi yang dapat dipertanggung jawabkan kepada semua warga Desa.

Akumulasi dari kesemuanya dapat diartikan bahwa Desa berdaulat adalah Desa yang mampu mengontrol (menguasai, menentukan) dan mengakses (mengelola, merawat, menjaga dan mengamankan) segala sesuatu sumber daya desa yang dimilikinya.

Satu hal yang tidak boleh kita lepaskan dari uraian diatas dengan idealita Desa berdaulat perlu dipikirkan kekuatan atau potensi sumber daya desa dalam kerangka mewujudkan kedaulatan desa itu sendiri, Desa sebagai entitas yang berkarakter dan mempunyai identitas jelas. Hal inilah yang menjadi kekuatan utama dimiliki Desa sehingga dapat dijadikan acuan menyelenggarakan kehidupan berdesa yang berdaulat, hal ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada BAB I : Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa : Desa adalah desa dan desa adat yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,adalah kesatuan masyarakat yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul , dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Undang-Undang Desa telah memberikan segalanya bagi Desa, tinggal Desa akan diarahkan pada tataran pembenahan dan perbaikan dari segala kondisi, perencanaan desa melalui RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) dan RKPDesa (Rencana Kegiatan Pemerintah Desa ), merupakan alat perbaikan tersebut. Hal ini akan memberikan manfaat bagi semua jika arahan kedaulatan desa berdasarkan pada kewenangan desa yang merupakan dasar perencanaan pembangunan desa melalui RPJMDesa dan RKPDesa dimulai.

Pembacaan atas Desa merupakan keharusan bagi semua unsur Desa, hal ini merupakan arah masa depan perbaikan Desa untuk lebih berbenah. Hal mendasar bagi Desa adalah memberikan satu arahan memotret segala potensi Desa dengan memberikan satu perhatian khusus dan fokus tentang memotret potensi Desa, ini merupakan bagian terpenting dalam menyelenggarakan pembangunan Desa yang didasarkan pada perencanaan Desa, jadi RPJMDesa harus mengacu pada potensi Desa beserta Kewenangan Desanya.

Berdaulat bagi Desa merupakan hal yang harus terwujud dengan segala konsekuensinya, mengarahkan  kemandirian dan kedaulatan mendasarkan pada hal yang berprinsip dan kuat, sehingga cita – cita, sebagaimana kalimat dalam bahasa belanda het recht hink achter de feiten aan – hukum itu akan selalu tertinggal dengan perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Dengan melakukan berdesa yang mampu “mendengar”  atas suara masyarakat akan memberikan sesuatu prestasi dari aparatur desa bersama masyarakat dalam mewujudkan desa berdaulat dengan sepenuh hati. Oleh karena itulah mengenali kewenangan desa menjadi pintu masuk dalam kerangka menjadikan desa lebih maju dan lebih kuat dalam memainkan perannya tanpa intervensi supra desa, tetapi hal lain telah mengakarnya budaya “tunduk” pada supra desa akan menghambat percepatan lompatan perkembangan desa dalam kerangka menjawab persoalan masyarakat desa beserta pemenuhan kebutuhannya.

Hukum dalam hal ini diwakili oleh UU Desa beserta aturan turunannya semangatnya telah mengarahkan pada aras penguatan pemberdayaan setiap individu warga desa, tanpa mendasarkan pada kewenangan desa yang dimilikinya tak akan mendapatkan kedaulatan dalam genggaman kita bersama seluruh komponen desa.

Kesemuanya ini harus mengedepankan tataran regulasi yang ada menjadi pijakan utama,agar untuk terjadi proses belajar menaati aturan dan melaksanakan aturan sesuai dengan kebutuhan, jadi kalimat bahasa belanda diatas sangat sesuai dengan perkembangan jaman dan dinamika yang terjadi di desa pada umunnnya. Sebuah keniscayaan desa berdaulat terwujud dengan baik, seiring budaya mendengar dan saling menghargai atas keragaman dan kreatifitas warga desa yang penuh kedinamisan akan memberikan sebuah perwujudan “Qaryah Thayyibah”

Pembacaan Atas Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *