Pernyataan Sikap SPPQT:
Insiden Padang, Alarm Keras Toleransi Semu di Indonesia
Salatiga, 29 Juli 2025 – Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) memandang Insiden perusakan rumah ibadah dan pembubaran kegiatan keagamaan di Padang pada 27 Juli 2025 adalah tamparan keras bagi kita semua. Peristiwa memilukan ini bukan sekadar kasus kriminal biasa yang bisa diselesaikan dengan penangkapan pelaku semata. Lebih dari itu, kejadian di Padang adalah alarm merah yang berteriak nyaring: bahwa persoalan fundamental toleransi di Indonesia, negeri yang kita banggakan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sesungguhnya masih jauh dari selesai.
Ilusi Ketenangan: Toleransi Pasif Menanti “Klik”
Selama ini, kita mungkin terlena dalam ketenangan semu, menganggap masyarakat kita sudah cukup toleran. Namun, SPPQT dengan tegas menyatakan, ketenangan itu seringkali bukan berlandaskan pada pemahaman dan penghayatan mendalam akan nilai-nilai toleransi, melainkan lebih karena belum adanya “klik” atau pemicu yang menyulut potensi konflik laten. Toleransi yang kita miliki masih bersifat pasif, sebuah kondisi di mana perbedaan “ditoleransi” selama tidak mengganggu zona nyaman atau memprovokasi ego kelompok tertentu. Ini bukan toleransi aktif yang tumbuh dari kesadaran, empati, dan penghargaan tulus terhadap keberagaman. Toleransi pasif adalah bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu jika menemukan pemicunya.
Kegagalan Sistemik: Ketika Institusi Negara Gagal Mengakar
Potensi ledakan ini tak lepas dari kegagalan sistemik sejumlah instansi terkait yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kehidupan beragama, bersuku, berbangsa, dan berbhineka tunggal ika. Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan berbagai lembaga lainnya, meskipun telah mengeluarkan program dan laporan capaian, nyatanya belum berhasil mengakar dalam hati dan pikiran masyarakat.
SPPQT masih menyaksikan ego keyakinan, kesukuan, dan arogansi yang tinggi di tengah masyarakat. Ada sebagian pihak yang masih merasa paling berkuasa, paling benar, dan paling memiliki hak serta kewenangan di sebuah wilayah, atau bahkan di negeri ini. Perasaan superioritas ini menjadi pupuk subur bagi benih-benih intoleransi untuk tumbuh dan berkembang, menafikan hak-hak dasar warga negara yang berbeda.
Pendidikan: Benteng Terakhir yang Belum Kokoh
Dari semua instansi, institusi pendidikan memikul tanggung jawab paling besar. Dengan segenap instrumen, persebaran, pendanaan, dan cakupannya yang luas, pendidikan seharusnya menjadi benteng utama dalam menanamkan nilai-nilai toleransi sejati sejak dini. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu menanamkan nilai-nilai toleransi sejati yang meresap hingga ke hati nurani.
Yang ada hanyalah toleransi semu, toleransi normatif, dan toleransi administratif yang hanya berlaku di permukaan. Pelajaran tentang keragaman mungkin ada di buku teks, namun belum diterjemahkan menjadi praktik nyata dan pembentukan karakter yang kuat. Siswa mungkin hafal tentang Bhinneka Tunggal Ika, tetapi belum sepenuhnya menghayati maknanya dalam interaksi sehari-hari. Ini adalah kegagalan besar yang harus segera diakui dan diperbaiki.
Tuntutan untuk Introspeksi dan Aksi Nyata
SPPQT menyerukan kepada seluruh pihak terkait, terutama pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, kemudian mengajak dan melibatkan tokoh agama dan masyarakat, pesantren, hingga setiap individu warga negara, untuk menghentikan sejenak euforia klaim “kerukunan” yang rapuh. Pemerintah dan Lembaga Lembaga pemerintah harus memeriksa kembali program, tugas, dan peran yang selama ini di jalankan, dan menyandingkannya dengan realitas pahit yang terjadi di masyarakat. SPPQT menuntut kepada segenap instansi pemerintah bahwa Kejadian Padang sebagai kejadian terkair terkait intoleransi, tidak boleh terjadi lagi.
Sudah saatnya pemerintah bergerak melampaui retorika dan seremonial. Pemerintah harus bekerja keras untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejati yang berlandaskan pada pemahaman, empati, dan penghargaan mendalam terhadap setiap perbedaan. Toleransi sejati adalah fondasi kokoh bagi Indonesia yang adil, makmur, dan damai. Mari kita pastikan bahwa insiden di Padang menjadi titik balik, bukan sekadar catatan kelam dalam sejarah bangsa.
SPPQT
Mujab, Ketua