Menggugat Ketahanan Pangan Semu, Menuntut Kedaulatan Pangan Sejati
Hari Pangan Sedunia (HPS) adalah momentum krusial, bukan sekadar perayaan, melainkan panggilan darurat untuk melakukan refleksi mendalam dan tindakan radikal terhadap kondisi pangan bangsa. Selama ini, Indonesia terjebak dalam narasi “Ketahanan Pangan” yang rapuh dan semu, gagal melindungi rakyat dari kelaparan, petani dari kemiskinan, dan lingkungan dari kerusakan. SPPQT dengan tegas menyatakan bahwa saatnya telah tiba untuk menggeser paradigma secara total menuju Kedaulatan Pangan Sejati.
Kedaulatan Pangan adalah hak rakyat untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian mereka sendiri, dengan memprioritaskan produsen dan konsumen lokal, serta menjamin keberlanjutan ekologis. Kegagalan mencapai kedaulatan inilah yang kini memicu serangkaian krisis multidimensi yang mengancam masa depan bangsa.
I. Ketahanan Pangan Terancam Bencana Ekologis dan Kepentingan Modal
Ketersediaan pangan kita kini berada di bawah tekanan ganda: ancaman iklim yang makin nyata dan agresi alih fungsi lahan yang brutal.
1. Perubahan Iklim dan Kelemahan Struktural. Dampak perubahan iklim bukanlah isu masa depan, melainkan realitas harian bagi petani. Fenomena ekstrem seperti El NiƱo telah berulang kali menyebabkan mundurnya masa tanam dan penurunan drastis pada produktivitas pertanian nasional. Data menunjukkan bahwa guncangan iklim dapat menurunkan produksi padi hingga jutaan ton, sebuah kerugian yang tidak hanya diukur dalam angka ekonomi, tetapi juga dalam potensi kelaparan di tingkat rumah tangga.
2. Darurat Alih Fungsi Lahan. Ancaman ini diperparah oleh praktik alih fungsi lahan pertanian subur yang tak terkendali demi kepentingan industri, perumahan, dan infrastruktur non-pertanian. Lahan sawah beririgasi teknis yang seharusnya menjadi benteng ketersediaan pangan jangka panjang terus menyusut. Tanpa intervensi kebijakan yang tegas, kita sedang menabung bom waktu krisis lahan yang akan mematikan sumber pangan kita di masa depan.
SPPQT mendesak: Pemerintah segera menetapkan dan menjalankan moratorium ketat terhadap alih fungsi lahan pertanian produktif, serta mengalokasikan sumber daya masif untuk riset varietas unggul yang tahan iklim ekstrem.
II. Kedaulatan Pangan Dihadang Kebijakan yang Menghambat Kesejahteraan Petani
Kedaulatan pangan tidak akan pernah terwujud tanpa kedaulatan petani. Saat ini, petani sebagai ujung tombak produksi justru terpinggirkan oleh kebijakan yang berpihak pada korporasi dan ketergantungan asing.
1. Kebijakan yang Menghambat dan Ketidakadilan Regulasi. Kami menilai bahwa sejumlah regulasi, terutama Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), telah dikritik karena memfasilitasi liberalisasi sektor pertanian dan mereduksi perlindungan bagi petani gurem. Kebijakan ini dinilai tidak memprioritaskan petani kecil dan koperasi, melainkan membuka ruang bagi dominasi pemodal besar, yang pada akhirnya menghambat kedaulatan pangan nasional karena meniadakan daya tawar petani lokal.
2. Krisis Regenerasi Petani. Sektor pertanian telah kehilangan daya tariknya. Krisis regenerasi petani menjadi masalah serius karena tingginya usia rata-rata petani Indonesia (diperkirakan di atas 50 tahun) dan minat generasi muda yang minim. Hal ini bukan hanya masalah budaya, melainkan masalah ekonomi: pertanian dianggap tidak menarik karena pendapatan yang rendah, ketidakpastian harga, dan kurangnya akses terhadap teknologi serta modal.
3. Ketergantungan Impor yang Mematikan Pasar Lokal. Indonesia, sebagai negara agraris, masih menunjukkan ketergantungan impor yang tinggi untuk komoditas strategis seperti beras, gandum, kedelai, gula, bahkan bawang putih. Ketergantungan ini tidak hanya menguras devisa, tetapi juga menciptakan ketidakstabilan harga di pasar domestik, merugikan petani lokal, dan secara fundamental merusak kedaulatan pangan kita. Sebuah bangsa yang tidak mampu mencukupi makanannya sendiri adalah bangsa yang rentan terhadap guncangan geopolitik.
4. Keadilan Gender dan Peran Perempuan Tani. Sistem pangan seringkali abai terhadap kontribusi vital perempuan tani. Meskipun persentase perempuan yang terlibat dalam pertanian sangat signifikan, peran mereka mulai dari seleksi benih, penanaman, hingga pengolahan pasca-panen dan penjaminan gizi keluarga seringkali tidak diakui secara formal. Mereka menghadapi tantangan akses yang lebih besar terhadap modal, informasi, dan kepemilikan lahan. Kegagalan mengakui dan melindungi hak-hak perempuan tani adalah kegagalan struktural dalam mencapai kedaulatan pangan sejati dan berkeadilan.
SPPQT menuntut: Segera tinjau ulang dan cabut pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang merugikan petani. Implementasikan reforma agraria sejati sesuai mandate UUPA 1960, seperti luasan lahan minimal Garapan masing masing petani, dan berikan jaminan harga beli hasil pertanian yang layak dan stabil.
III. Krisis Gizi dan Tuntutan Diversifikasi Pola Konsumsi
Masalah pangan hari ini bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga kualitas dan akses nutrisi yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
1. Malnutrisi Ganda: Stunting dan Obesitas. Indonesia menghadapi ironi malnutrisi ganda: tingginya angka stunting (kekurangan gizi kronis) pada balita, berdampingan dengan meningkatnya kasus obesitas akibat pola makan yang tidak sehat dan konsumsi pangan olahan tinggi gula, garam, dan lemak. Permasalahan stunting dan malnutrisi ini adalah cerminan kegagalan sistem pangan dalam menyediakan akses pangan bergizi, aman, dan terjangkau bagi kelompok miskin dan rentan.
2. Monopoli Nasi dan Minimnya Diversifikasi. Kita terlalu bergantung pada beras. Kurangnya diversifikasi pangan, terutama karena hegemoni nasi sebagai sumber karbohidrat utama, telah melumpuhkan potensi pangan lokal yang kaya gizi, seperti sagu, umbi-umbian, dan jagung. Pemerintah gagal secara masif mempromosikan ketersediaan pangan lokal yang bergizi sebagai alternatif strategis.
3. Pemborosan Makanan (Food Loss & Waste). Pada saat jutaan rakyat Indonesia masih kekurangan gizi, kita menghadapi masalah etis dan lingkungan berupa pemborosan makanan (Food Waste) yang masif, terutama di perkotaan dan sektor ritel. Studi menunjukkan Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah makanan terbesar di dunia, sebuah sampah makanan yang membebani lingkungan dan menunjukkan inefisiensi sistem distribusi.
SPPQT menyerukan: Kampanye nasional masif untuk diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dan perbaikan edukasi gizi. Pemerintah harus mengeluarkan regulasi yang memaksa industri dan ritel untuk meminimalkan food loss and waste.
IV. Membangun Sistem Pangan Nasional yang Tangguh dan Berkelanjutan
Menghadapi tantangan global dan domestik, kita membutuhkan sistem pangan yang tidak mudah goyah.
1. Peningkatan Infrastruktur Distribusi. Pembangunan infrastruktur harus strategis. Bukan hanya jalan tol, tetapi juga gudang pendingin (cold storage) yang memadai, pengembangan teknologi paska panen, modernisasi pasar tradisional, dan perbaikan sistem distribusi yang efisien untuk mengurangi post-harvest loss. Ketersediaan dan stabilitas pangan hanya dapat dijamin jika infrastruktur logistik mampu menghubungkan produsen ke konsumen tanpa kerugian besar.
2. Mengatasi Kerentanan terhadap Krisis Global. Sistem pangan kita rentan terhadap berbagai krisis, baik itu pandemi (seperti COVID-19), konflik global, maupun guncangan ekonomi. Kerentanan ini memperburuk ketahanan pangan karena ketergantungan pada rantai pasok global. Pembangunannya harus diarahkan pada penguatan basis produksi lokal di setiap daerah, sehingga setiap wilayah memiliki kemampuan untuk berswasembada pangan pokoknya.
3. Penguatan dan Pemberdayaan Pertanian Keluarga. Faktanya, tulang punggung pangan nasional adalah pertanian keluarga, yang menguasai mayoritas lahan dan produksi. Kebijakan pangan harus secara eksplisit memberdayakan dan melindungi kelompok petani ini, bukan korporasi. Penguatan harus meliputi akses langsung pada benih unggul lokal, subsidi pupuk yang tepat sasaran, skema asuransi gagal panen, dan peningkatan kapasitas kelembagaan tani lokal, termasuk koperasi. Pengakuan dan perlindungan hak-hak petani keluarga adalah kunci untuk mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Pernyataan Sikap dan Tuntutan Mendesak
Atas dasar pertimbangan di atas, SPPQT menyatakan sikap dan mengajukan tuntutan mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia:
- Stop Alih Fungsi Lahan: Hentikan segera alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan berikan perlindungan hukum yang kuat serta insentif bagi petani penggarap.
- Keadilan Regulasi: Tinjau ulang dan batalkan kebijakan pro-korporasi yang menghambat Kedaulatan Pangan, penegakan kembali Batasan minimal laan Garapan seperti amanat UUPA tahun 1960 dan termasuk mereformasi kebijakan tata niaga impor yang merugikan petani.
- Regenerasi Berbasis Kesejahteraan: Wujudkan program regenerasi petani dengan menjamin akses modal, teknologi, dan, yang paling penting, kepastian harga jual yang menguntungkan bagi hasil panen petani.
- Prioritaskan Lokal: Alokasikan anggaran dan kebijakan untuk mempromosikan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal guna menanggulangi stunting dan mengurangi ketergantungan berlebihan pada beras.
- Akselerasi Infrastruktur Pangan: Percepat pembangunan infrastruktur spesifik pangan, seperti lumbung pangan desa modern dan gudang berpendingin, serta sistem logistik yang terintegrasi dan berkeadilan.
Kedaulatan Pangan adalah Mandat Konstitusi, Bukan Komoditas Pasar.
Hidup Petani! Hidup Rakyat Indonesia!
Salatiga, 16 Oktober 2025
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah
(SPPQT)
Mujab
Ketua